Memahami
peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya
secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif
sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana
politis maupun akademis.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan
Pancasila sebagai dasarnegara dalam tiga tahap yaitu :
(1)
tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis,
(2)
tahap 1969 – 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan
(3)
tahap 1995 – 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila.
Penahapan
ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan
penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu :
(1)
1945 – 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ;
(2)
1949 – 1950 masa konstitusi RIS ;
(3)
1950 – 1959 masa UUDS 1950 ;
(4)
1959 – 1965 masa orde lama ;
(5)
1966 – 1998 masa orde baru dan
Hal
ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik
dan dari segi hukum.
Di era reformasi
ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun
masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik
dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang
kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum
kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila
sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pancasila“.
Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila.
Pernyataan ini
didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis
tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih
aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5
persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan
hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk “malu-malu” terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang Pancasila.
Mungkin Rezim
Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin
dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila dan tidak ingin menjadi seperti dua
rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi kekuasaan. untuk
melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan otoritarianisme Orde
Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali Pancasila
dan menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan
untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang
dinamakan radikalisasi Pancasila
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah dasarnegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Dokumen kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tidak lagi diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk “Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila” dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena
berdasarkan TapMPR No XVIII /MPR/1998,telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasarnegara.
Berdasar uraian di
atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa tetap
menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde
sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan
Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan
menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim
dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian memunculkan
masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam kehidupan
bernegara ini.
. Pedoman umum implementasi
pancasila dalam kehidupan bernegara pengantar bangsa indonesia harus bersyukur
bahwa setelah melewati perjuangan kemerdekaan implementasi pancasila di era
setelah reformasi. Burung garuda adalah lambang negara indonesia lambang ini
dirancang oleh sultan hamid ii dari pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh
presiden soekarno implementasi pancasila di era setelah reformasi.
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain.
Penegakan
hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orde baru. Namun, sangat disayangkan
para elit politik yang mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang
konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi
kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas
masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme.
Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah
terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde
Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden.
Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada era Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap
dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika
pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi
sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik
merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Dalam
bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan ”subversi asing”, yakni
kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus
pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai
pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada masyarakat melemah.
PENUTUP
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai
Tugas Mandiri Pacasila ini.materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman agar memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan
berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
A. KESIMPULAN
1. Bahwa
pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup serta sumber dari semua
sumber hukum adalah warisan hukum yang di gali nilai budaya,adat serta
kepribadian bangsa.
2. Tidak
ada yang salah dengan pancasila hanya saja penjabaran pelaksanaan pada masa
pemerintahan sebelumnya hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan
saja.
3. Pada
masa reformasi ini sesuai dengan maknanya maka tidak salah dan tepat bila kita
harus kembali pada nilai-nilai pancasila yang telah sekian lama menjadi asing
dan jauh dari kehidupan kita sebagai bangsa.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di
atas ada beberapa saran yang dapat di berikan guna mewujudkan upaya pembinaan
masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang meliputi
paham kebangsaan,rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan,antara lain :
a) Untuk
meningkatkan wawasan kebangsaan bagi segenap komponen bangsa diperlukan
perhatian dan penanganan pihak-pihak terkait secara intergrative.
b) Peran
pada elit pemerintah,elit politik dan tokoh masyarakat LSM serta media masa
sangat di perlukan untuk meningkatkan Wawasan Kebangsaan.
c) Perlunya
pengamatan Pancasila secara nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui penataran
atau sertifikasi Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4),di seluruh
lembaga pedidikan,baik formal maupun nonformal,agar lebih tertanam rasa cinta
tanah air,bangsa dan negara bahkan selalu siap dalam usaha bela negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
kewarganegaraan.Pancasila sebagai Dasar dan ideologi Negara.Penerbit Yudhistira.Jakarta.2005.