Keputusan
terpenting Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar, 2015 adalah Konsep Negara
Pancasila sebagai Darul Ahdi wal-Syahadah.
Makna harfiahnya: negara kesepakatan dan kesaksian (pembuktian). Muhammadiyah
memiliki pandangan dan wawasan bahwa eksistensi Negara Republik Indonesia
dengan dasar negara Pancasila merupakan kesepakatan seluruh elemen bangsa
dengan berbagai suku bangsa, bahasa dan bermacam-macam agama. Muhammadiyah
sebagai bagian dari umat Islam telah ikut menyepakati lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Penerimaan
Muhammadiyah sebagai bagian terpenting umat Islam terhadap NKRI dan Pancasila
merupakan proses panjang terhadap munculnya berbagai pilihan, baik yang
diajukan kelompok nasionalis sekular, kelompok nasionalis muslim, kelompok
Islamis, serta kelompok non-muslim, yang menginginkan terjadinya persatuan dan
kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Tokoh
Muhammadiyah masa lalu, seperti Prof. Kahar Muzakkir, Mr. Kasman Singodimedjo,
dan Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh yang tidak bisa dilupakan peran dan
kontribusinya kepada bangsa dan negara. Utamanya, Ki Bagus yang merupakan kunci
terakhir lahirnya kesepakatan akan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, yakni
dengan rumusan sila I Pancasila yang kita kenal saat ini, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Frasa “Yang Maha Esa” yang diusulkan oleh Ki Bagus, sebagai pengganti
dari tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Pada saat mengusulkan frasa tersebut Ki Bagus menegaskan
bahwa Ketuhanan yang Maha Esa bermakna tauhid (tauhidullah)
bagi umat Islam.
Dengan
prinsip ini, Muhammadiyah akan menjaga kesepakatan itu selama kesepakatan itu
tetap memberi kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Artinya Darul Ahdi, negara
kesepakatan ini juga bermakna Darussalam, Negara
Kedamaian antara umat Islam dan umat non muslim, serta negara yang memberikan
kedamaian, keleluasaan dan jaminan bagi tegaknya keyakinantauhidullah dan pengamalan ajaran Islam bagi
pemeluknya.
Sedangkan
Negara Pancasila sebagai Dar al-Syahadah adalah
Negara kesaksian dan pembuktian bahwa umat Islam harus berperan aktif memberi
makna terhadap pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila dengan
nilai-nilai ajaran Islam, yang memang antara keduanya tidak ada pertentangan.
Penguatan Pancasila dengan nilai-nilai ajaran Islam merupakan konsekwensi logis
dari lahir kesepakatan dan konsensus nasional terlebih-lebih karena amanat Ki
Bagus yang menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid bagi umat
Islam.
Nilai-nilai
Islam dalam Pancasila
Kesaksian
dan pembuktian yang dilakukan Muhammadiyah diantaranya melalui upaya terhadap
penguatan konsep dalam tafsir dan penjabaran nilai-nilai Pancasila dengan
merujuk kepada Al Quran dan Sunnah, misalnya penguatan konsep tauhidullah, baik tauhid rububiyyah, tauhid asma
wa sifat dan tauhid uluhiyah,
penerapan syariat Islam, dan toleransi antar umat beragama dalam penjabaran dan
pengalaman sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Penguatan
konsep akhlak dan keadaban dalam penjabaran sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, penguatan konsep ukhuwah dan kesatuan umat Islam dan
persaudaraan insaniyah sebagai
pengayaan atas Sila Persatuan Indonesia. Penerapan sistem dan etika politik
Islami, pembudayaan musyawarah yang bermartabat, ketaatan kepada pemimpin,
serta sikap amanah dari para pemimpin bangsa sebagai penjabaran atas sila ke
empat. Juga pengkajian konsep-konsep Al Quran dan Sunnah tentang keadilan
sosial, baik dalam dimensi hukum dan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial dalam
wilayah politik.
Dengan
penjabaran ini, Muhammadiyah mengenalkan pandangan Islam yang rahmatan lil alamin (universal) dan sejalan
dengan nilai-nilai bahkan sila-sila dalam Pancasila, sehingga komponen bangsa
Indonesia dari kalangan non Muslim benar-benar memahami bahwa ajaran Islam dan
keberadaan umat Islam tidak mengancam keberadaan mereka, bahkan sebaliknya
sangat menghormati keberaaan non Muslim di lingkungan Muslimin.
Di
samping itu, kesaksian dan pembuktian yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah
dalam bentuk dakwah Islam yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas penguatan
akidah dan keimanan umat Islam, penguatan pemahaman dan pengamalan akhlak dan
syariat Islam dalam kehidupan muslim, serta dakwah dalam bentuk pemberdayaan
masyarakat, yang ditujukan seluruh umat manusia. Sebagai contoh, lembaga pendidikan
Muhammadiyah, di samping dipersiapkan untuk melahirkan kader-kader penerus
Muhammadiyah, juga untuk mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu lembaga pendidikan Muhammadiyah juga membuka peluang dan kesempatan
bagi umat non Muslim untuk menikmati pendidikan di Muhammadiyah. Dan contoh
konkret dari ini adalah sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia
timur mayoritas peserta didiknya adalah non Muslim. Langkah Muhammadiyah yang
membuka diri untuk komunitas non Muslim dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah
merupakan bagian dari dakwah pencerahan dan dakwah pemberdayaan masyarakat.
Muhammaadiyah tidak memaksakan pengislaman terhadap mereka, dan mereka pun
tidak merasa takut dan khawatir akan diislamkan. Namun demikian, hidayah Allah
tidak dapat ditolak, diantara mereka ada yang dengan suka rela menyatakan ingin
disyahadatkan sebagai Muslim.
Dakwah
dan Tajdid untuk Bangsa
Kesaksian
dan pembuktian yang dilakukan Muhammadiyah juga dalam bentuk jihad konstitusi,
yakni dengan melakukan koreksi dan judisial
review terhadap berbagai undang-undang yang bertentangan
dengan konstitusi yang lebih tinggi Undang-undang Dasar 1945, yang sekaligus
bertentangan dengan ajaran Islam dan serta melukai rasa keadilan dan menambah
penderitaan rakyat. Muhammadiyah didampingi elemen umat dan bangsa lainnya
melakukan judisial review atas
undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Semua
langkah di atas, baik pada tataran penguatan konsep maupun langkah operasional
dengan sistem modern Muhammadiyah menginginkan Indonesia sebagai Indonesia
berkemajuan. Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk
mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan
Islam adalah kebaikan yang serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup
lahiriah dan ruhaniah.
Adapun
dakwah dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan untuk mewujudkan
Islam sebagai agama bagi kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman. Dalam
perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan satu-satunya agama Allah yang haq, yang juga satu-satunya agama yang berkemajuan (din al-hadharah). Kehadirannya membawa rahmat bagi
semesta kehidupan, dan umat yang memeluknya menjadi khaira ummat (umat terbaik) yang terlahir untuk
manusia dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, beriman kepada Allah,
serta ummatan wasathan (umat
pertengahan) yang menjadi saksi (pemimpin) bagi segenap umat manusia.
Masyarakat
Utama dan Negara Ideal
Dalam
berbagai matan keputusan resmi organisasi, seperti dalam
(1) Muqadddimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah,
(2) Matan Keyakinan dan cita-cita Hidup Muhammadiyah,
(3)
Kepribadian Muhammadiyah,
(4) Khittah Perjuangan Muhammadiyah,
(5) Pedoman
Hidup Islami warga Muhammadiyah, jam’iyyah
Islamiyyah ini memiliki konsep negara ideal dalam ungkapan
sederhana yaitu “masyarakat utama” yang digambarkan sebagai masyarakat yang
sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas
keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan
bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan
hawa nafsu.
Kalau
dalam konteks Negara Pancasila berarti pendalaman aqidah tauhid merupakan
syarat mutlak untuk memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ini harus
menjiwai seluruh sila dalam Pancasila. Artinya negara memiliki tanggung jawab
yang tinggi terhadap kualitas keagamaan rakyatnya. Negara juga harus kuat untuk
menangkal berbagai ideologi dan pemikiran yang bertentangan Pancasila dan
ajaran agama yang diakui di Indonesia, seperti komunisme dan atheisme. Negara
memberikan perlindungan terhadap umat beragama dari berbagai aliran sesat,
dengan menjadikan paham mainstream umat beragama sebagai patokan. Misalnya
untuk umat Islam melalui MUI, untuk umat Nasrani melalui PGI/KWI, dan sebagainya.
Sehingga ajaran agama benar-benar berperan sebagai ruh kemajuan bangsa, dan
terhindar dari konflik horizontal yang mengancam keutuhan NKRI, karena
banyaknya aliran sesat yang memecah belah intern dan antar umat beragama.
Di
samping itu, ditemukan pula ungkapan penggambaran Negara Ideal menurut
Muhammadiyah adalah ungkapan Qur;ani: “baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur”, yang bermakna bahwa negara yang maju
dan tata kelola negara modern, dapat menjamin tegaknya keadilan dan
kesejahteraan rakyatnya, dengan senantisa bersendikan aturan-aturan yang
sejalan dengan ajaran Allah dan RasulNya.
Negara
ideal bagi Muhammadiyah sangat tergantung pada kualitas umat Islam dalam
memahami, menghayati dan menjabar nilai-nilai ajaran Islam, serta
mendakwahkannya kepada seluruh masyarakat, sehingga Islam benar-benar dirasakan
sebagai rahmat dan barakah bagi umat manusia. Artinya umat Islam yang
benar-benar memiliki komitmen terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang harus
memiliki peran nyata untuk menentukan dan mewarnai perjalanan negara, sehingga
negara itu benar-benar dalam ridha dan ampunan Allah.
Untuk
itulah, Muhammadiyah tetap setia dengan cita-citanya sebagaimana digariskan
dalam Anggaran Dasarnya untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Itulah negara ideal. Itulah negara berkeadilan. Itulah negara
berkemajuan (berperadaban). Cita-cita mulia itu harus diwujudkan dengan
keteladanan dan kerja keras seluruh warga Muhammadiyah, wa bil-khusus, para pimpinannya. Wallahu a’lam.
Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Sumber: http://tabligh.id/