Islam mengajak pemeluknya agar saling menolong dalam hal kebaikan dan membendung kemungkaran, terutama menolong orang yang sangat membutuhkan, seperti anak yatim, orang miskin, para janda dan lainnya.
Definisi Anak Yatim
Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata,
حَفِظْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ
“Aku menghafal hadits dari Rasulullah ﷺ, bahwa tidak ada status yatim setelah ihtilam (mimpi basah/baligh) dan tidak diperbolehkan diam (tak berbicara) dari siang hingga malam.” (HR. Abu Dawud: 2875, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 2497)
Dengan dasar hadits di atas, anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya karena wafat, sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pengasuhnya, sebagaimana dalam QS. al-Balad: 15, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Adapun penggunaan istilah anak yatim yang sudah baligh, memang ada di dalam QS. an-Nisa’: 2, namun penggunaan itu secara majazi. Maksudnya, penyerahan harta anak yatim apabila dia sudah baligh dan pandai membelanjakan harta.
Penyebutan Yatim Di Dalam Al-qur’an
Al-Qur’an menyebutkan kalimat yatim 23 kali, secara mufrad (tunggal) 8 kali, dan mutsanna (dobel) 2 kali, sedangkan dalam bentuk jamak (plural) 13 kali. Yang pertama menjelaskan agar kita berbuat baik kepada anak yatim, dan yang kedua menjelaskan hak sosial, sedangkan yang ketiga menjelaskan hak harta mereka. Ini semua menunjukkan pentingnya kaum muslimin memperhatikan hak anak yatim.
Keutamaan Mendidik Anak Yatim
Banyak dalil dari al-Quran dan hadits shahih yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya firman Allah ﷻ :
فِی ٱلدُّنۡیَا وَٱلۡـَٔاخِرَةِۗ وَیَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡیَتَـٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحࣱ لَّهُمۡ خَیۡرࣱۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمۡ فَإِخۡوَ ٰنُكُمۡۚ وَٱللَّهُ یَعۡلَمُ ٱلۡمُفۡسِدَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِۚ وَلَوۡ شَاۤءَ ٱللَّهُ لَأَعۡنَتَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ حَكِیمࣱ
Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Al-Baqarah: 220)
Rasulullah ﷺ mengabarkan, bahwa pengasuh anak yatim akan mendapatkan imbalan masuk surga bersama beliau.
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pengasuh anak yatim, anaknya sendiri ataupun anak orang lain, aku dan dia seperti dua jari ini di surga kelak.” sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Muslim: 1774)
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa kedudukan pengasuh anak yatim dengan Rasulullah ﷺ, dekatnya dia dengan beliau besok di surga seperti dekatnya jari telunjuk dan jari tengah. (Fathul Bari 17/142)
Disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/141), bahwa maksud hadits di atas menunjukkan cepatnya peng-kafil (yang mengayomi) anak yatim masuk ke dalam surga dan sangat tinggi pula kedudukannya.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits ini, “Memelihara anak yatim termasuk menafkahinya, memberi pakaian, mendidik agama dan akhlaknya dan apa yang menjadi sebab dirinya baik, maka keutamaan ini diperoleh bagi orang yang mengurusi anak yatim dengan hartanya sendiri, atau harta anak yatim dengan mengurusi agar menjadi baik dirinya menurut syari. Adapun maksud anak yatim kepunyaannya, karena masih ada hubungan kerabat seperti kakeknya, ibunya, neneknya, saudaranya, saudarinya, pamannya dari pihak bapak atau ibu, demikian juga bibiknya dan kerabat lainnya, adapun selain keluarganya maksudnya adalah orang lain.” (Syarh Shahih Muslim 9/367)
Berbuat baik kepada anak yatim yang menjadi tanggungannya meraih dua pahala, pahala sedekahnya dan pahala berbuat baik kepada kerabat.
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُجْزِئُ عَنِّي مِنْ الصَّدَقَةِ النَّفَقَةُ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتَامٍ فِي حِجْرِي قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الصَّدَقَةِ وَأَجْرُ الْقَرَابَةِ
Dari Zainab —istri Abdullah bin Mas’ud— رضي الله عنها, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, apakah boleh (sah) zakat yang aku berikan kepada suamiku dan anak-anak yatim dalam tanggunganku? Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ia (Zainab) mendapatkan dua pahala, pahala zakat (sedekah) dan pahala (menyambung silaturahmi) dengan kerabat.” (HR. Bukhari: 1466)
Termasuk Mendidik Anak Yatim Ialah Menjaga Hartanya
Kepada semua yang mengurusi anak yatim, hendaknya berhati-hati mengurusi harta mereka, baik hartanya karena mendapat warisan atau harta dari orang lain yang diamanahkan untuk anak yatim. Jika merasa tidak mampu atau khawatir makan harta tersebut, hendaknya menyerahkan kepada yang mampu memegang amanah.
Dari Umarah bin Umair, dari bibinya. Bibinya tersebut pernah bertanya kepada Aisyah رضي الله عنها,
فِي حِجْرِي يَتِيمٌ أَفَآكُلُ مِنْ مَالِهِ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Dalam tanggunganku terdapat anak yatim, maka apakah aku boleh memakan hartanya?” Aisyah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang dihasilkan dari usahanya sendiri dan hasil usaha anaknya.” (Shahih: HR. Ibnu Majah: 2137)
Jika yang mendidik anak yatim adalah seorang miskin, dia tidak mampu, dia boleh makan bersama mereka sekadarnya, sebagai upah mendidik dan memasakkan mereka. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. an-Nisa’: 6)
Hendaknya Bersabar Mendidik Anak Yatim
Jika kita menjumpai anak yatim nakal, tentu wajar, karena dia masih kecil dan kehilangan bapak yang menjadi pemimpin dirinya. Allah ﷻ berfirman:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS. adh-Dhuha: 9)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Maksud ayat ini; janganlah kamu bermuamalah dengan anak yatim dengan pergaulan yang buruk, dadamu jangan merasa sempit mendidik mereka, jangan kamu bentak, tetapi muliakan mereka, mudahkan urusan mereka, perlakukan semisal kamu memperlakukan anakmu sendiri.” (Taisir al-Karim ar-Rahman 1/928)
Mendidik Anak Yatim Agar Menunaikan Shalat
Mengurusi anak yatim bukan hanya memperhatikan kesehatan badannya, tetapi lebih dari itu, hendaknya dididik pula agar menjadi ahli ibadah kepada Allah, seperti menjalankan shalat jamaah di masjid jika yatim itu laki-laki. Perhatikan hadits di bawah ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan makanan yang dibuatnya bagi beliau. Beliau pun memakannya, kemudian berkata, “Berdirilah kalian, kita akan mengerjakan shalat!” Anas menceritakan, “Lalu aku berdiri mengambil tikar kami yang telah menghitam karena terlalu sering dipakai, lalu aku perciki air. Kemudian Rasulullah ﷺ berdiri, aku pun merapikan barisan, seorang anak yatim berdiri di belakang, sementara wanita tua itu di belakang kami. Rasulullah ﷺ mengimami kami shalat dua rakaat, kemudian beliau pulang.” (HR. Bukhari: 380)
Keutamaan Menafkahi Anak Yatim Dan Ibunya
Umumnya anak yatim tatkala ayahnya meninggal, tentu yang paling berperan adalah ibunya. Anak pun lebih suka diasuh oleh ibunya daripada orang lain. Tatkala dia bersama ibunya, padahal sang ibu tidak berkewajiban mencari nafkah untuk dirinya, apalagi untuk nafkah anak suaminya. Tentu orang muslim yang tahu penderitaan ibunya, hendaknya membantu apa yang menjadi kebutuhan ibu dan anak yatimnya. Syukur-syukur kalau mau menikahi dalam rangka menolong keduanya, mengingat besarnya pahala bagi yang mau menolong mereka. Perhatikan hadits di bawah ini:
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوْ كَالَّذِي يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ
Dari Shafwan bin Sulaim رضي الله عنه yang meriwayatkan secara langsung dari Rasulullah, bahwa beliau ﷺ bersabda, “Orang yang berusaha (untuk menafkahi) janda dan orang-orang miskin adalah seperti orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang berpuasa pada siang hari dan beribadah di malam hari. (HR. Bukhari: 5660)
Namun perlu diperhatikan bagi yang hendak menikahi janda yang tengah merawat anaknya, hendaknya tidak bermaksud menghabiskan harta istrinya, walaupun wanita itu kaya dan karena memegang harta anak yatim, maka sang suami tetap wajib menafkahi istrinya, bukan sebaliknya, memanfaatkan kekayaan istrinya dan harta anak yatim.
Dilarang Menyia-nyiakan Hak Anak Yatim
Umat Islam hendaknya memperhatikan hak anak yatim, seperti menasihati mereka dengan sabar dan menyantuni mereka, menyerahkan harta mereka pada saat sudah baligh dan tatkala sudah terampil membelanjakan harta.
Abu Hurairah رضي الله عنه berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَة
“Ya Allah, sungguh aku telah mengharamkan manusia menyia-nyiakan hak dua orang lemah, (yaitu hak) anak yatim dan wanita.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1015)
Hendaknya Anak Yatim Dijauhkan Dari Nafkah Yang Haram
Makanan sangat berpengaruh kepada pendidikan anak yatim, memberi makan mereka dengan hasil yang halal, in syaa Allah akan menjadikan anak shalih dan shalihah, sebagaimana para utusan Allah diperintah agar makan dan minum dari hasil yang halal sehingga mereka dimudahkan oleh Allah untuk beramal shalih. Berikut ini teguran Rasulullah ﷺ kepada yang memberi makan anak yatim dari hasil yang haram:
عَنْ أَبِي الْوَدَّاكِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ عِنْدَنَا خَمْرٌ لِيَتِيمٍ فَلَمَّا نَزَلَتْ الْمَائِدَةُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَقُلْتُ إِنَّهُ لِيَتِيمٍ فَقَالَ أَهْرِيقُوهُ
Dari Abu al-Waddak dari Abu Sa’id رضي الله عنه, ia berkata, “Dahulu di rumah kami ada khamer —yang dijual— untuk membiayai anak yatim. Ketika surah aI-Ma’idah turun, aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal ini. Aku berkata, ‘Khamer itu untuk —membiayai— anak yatim?’ Beliau menjawab, ‘Tumpahkanlah khamer!’” (HR. at-Tirmidzi: 1310, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah no. 3648)
Hadits ini memberi peringatan kepada pengasuh anak yatim, hendaknya tidak memberi makan mereka dari harta yang haram, terlebih lagi di zaman kita sekarang semisal bunga bank dan yang lainnya. Karena adanya ancaman pula bahwa orang yang makan dari hasil yang haram, doanya tidak akan dikabulkan.
Wallahua’lam…